Selasa, 03 Maret 2020

Kebersamaan berangkat sekolah bareng, satu keluarga di kampus yang sama.


Sudah satu bulan lebih anak lanang ikut sekolah dan tinggal di Jepang. Terkadang masih membayangkan beratnya menjadi dia untuk menghadapi semua ini, bahkan saya dan istri belum tentu mampu menghadapinya disaat kami setua ini. Setelah kami memutuskan untuk sekolah lagi, kami sepakat untuk meninggalkan anak di rumah untuk beberapa bulan sambil menyiapkan tempat tinggal dan sekolah buat anak. Saat itu saya berusaha meyakinkan istri bahwa itu bukan hal yang berat. Hari pertama kami berangkat, anak sementara ikut nenek. Ternyata sangat jauh dari apa yang saya bayangkan diawal, mulai dari perjalan ke bandara sampai ke tempat tujuan tiap ingat anak selalu sedih, merasa bersalah meninggal anak dengan orang tua kami sendiri di rumah hingga ujung-ujungnya nangis. Tiga bulan dilalui dengan rasa kangen yang terasa sangat, tiap hari video call dengan anak, namun anak selalu enggan ketika diajak berbicara seperti menahan sesuatu yang mungkin dia tidak bisa mengungkapkannya. Jika kami setua ini merasa berat menghadapi ini, tidak bisa membayangkan anak sekecil ini sudah harus tidur, mandi, sekolah tanpa ditemani orang tuanya. Hebatnya anak ini tidak pernah menunjukkan kesedihan itu kepada kami. Begitu kami mendapatkan ijin untuk pulang menjemput anak, rasanya bahagia sekali, tiap hari menandai kalender kurang berapa hari lagi akan ketemu dengan anak lanang. Begitu kami sampai di rumah dan ketemu anak, semakin saya sadari betapa sedihnya dia saat kami tinggalkan. Dia yang ketika awal kami berangkat selalu menolak untuk ikut ke Jepang karena lebih suka di Gresik, namun setelah kami tinggalkan selama tiga bulan, keinginan dia ikut ke Jepang sangat besar. Dia sangat antusias untuk ikut kami sekolah di Jepang, hingga akhirnya kita bertiga berangkat bersama.

Minggu pertama anak lanang sekolah dengan guru baru, teman baru, lingkungan baru, bahasa baru, makanan baru yang sama sekali tidak dia kenal. Saya saja satu bulan pertama setiap berangkat kuliah, tiap pagi perut selalu mules karena grogi dengan lingkungan yang sangat baru. Bagaimana dengan anak lanang? Sudah pastinya setiap pagi menangis di sekolah selama kurang lebih satu minggu. Peraturan sekolah tidak mengijinkan orang tua menemani anak walaupun hari pertama masuk. Jadi anak lanang lebih sering menangis di sekolah hingga sore hari kami jemput. Saya dan istri di kampus yang kami pikirkan hanya anak saya sedang ngapain di sekolah, hingga saatnya jemput dia dari sekolah, menurut Sensei di sekolah, dia nangis, ga mau main dan ga mau makan. Saat di rumah selalu mengatakan dia ga mau ditinggal sendiri, saya mikir apakah ini dampak dari kami tinggal tiga bulan pertama hingga dia khawatir jika harus kami tinggalkan lagi. Karena saat di rumah dia sangat senang tinggal bersama kami tapi selalu nangis ketika di tinggal di sekolah sendirian.

Alhamdulillah di minggu ketiga dia sekolah, anak lanang sudah sangat menikmati sekolahnya. Anak lanang sudah bisa beradaptasi dengan baik, pulang sekolah sudah bisa cerita di sekolah makan sayur, punya teman namanya Roteco, gurunya dipanggil Bunda Sense…he..he…bisa ngomong selamat pagi, terima kasih, sampai jumpa, sampai ketemu besok dalam Bahasa Jepang. Tiap malam menyanyi “cha..cha…cha..cha..” yang kami tidak tahu itu lagu apa. Sampai pada hari sabtu kami mendapat undangan dari sekolah untuk liat pertunjukkan dari murid-murid. Ternyata anak lanang beberapa hari di sekolah belajar untuk pertunjukkan dengan menyanyi lagu jepang “omocha no chacha”, yang dia lanjutkan di rumah. Sejak saat itu anak lanang sangat antusias dalam sekolah, tidak pernah nangis-nangis lagi saat berangkat sekolah. Jika saya atau istri berada di posisi seperti anak lanang mungkin belum tentu mampu menjalani secepat itu untuk beradaptasi, yang ternyata anak saya lebih bisa. Semangat tinggal bersama dari kami dan tentunya anak lanang semakin meyakinkan untuk menjalani semuanya. Alhamdulillah anak lanang tidak protes tinggal disini, makan seadanya, rumah seadanya, kemana-mana naik sepeda pancal. Maka selalu kami ucapkan syukur atas kebersamaan dan kesempatan belajar yang sekarang kami jalani bersama.

*Mortimer Adler : Tujuan dari belajar adalah untuk tumbuh. Dan akal kita, berbeda dengan tubuh kita, bisa terus bertumbuh selama kita hidup.

0 komentar:

Posting Komentar